welcom to piss.blogspot.com

Selasa, 09 November 2010

Sang Legendaris



Siapa tidak kenal penyanyi Ebiet Ghoffard Ade? Di tengah bencana seperti ini, lagu-lagunya kerap diputar di televisi, mengiringi berbagai program acara yang menyajikan gambar bencana. Dengan suara khas dan petikan gitar yang bening, lagu Ebiet kerap membawa penontonnya hanyut dalam suasana batin yang luar biasa.

Bagaimana Ebiet bisa menciptakan lagu yang fenomenal? Abietyasakti Ksatria Kinasih, putra sulung sekaligus manajer Ebiet, berbagi soal itu. "Sebenarnya bapak tidak suka mendengar musik. Jadi jangan ditanyain tengan musik, bapak tidak akan tahu. Karena dia tidak suka dengerin musik. Bapak lebih suka membaca," kata Abietyasaksi ketika ditemui di sela acara Dies natalis ke-47 Institut Pertanian Bogor, baru-baru ini.

Menurut Abietyasakti, bapaknya adalah pria yang menyukai segala jenis buku. Ayah empat anak itu juga suka melahap segala informasi. Tidak heran, bila pergi ke luar kota, seperti ke Bandung, Ebiet pasti melarang buat menghidupkan tape mobil. "Yang pasti kalau ada perjalanan jauh ke luar kota, pasti tersiksa. Karena bapak tidak suka ada musik hidup di dalam mobil. Jadi selama di perjalanan tape mobil itu mati," ujar Abietyasakti, yang sudah sepuluh tahun menjadi manajer bapaknya.

Dalam acara di IPB, Ebiet hadir menyanyikan lagu-lagunya secara akustik. Ia membawakan 12 tembang lawas. Penampilannya yang memukau hanya dengan diiringi petikan gitar dari jemarinya memukau 3.000 mahasiswa, termasuk Rektor IPB Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, MSc.

Bahkan, emosi penonton hanyut terbawa lirik lagu ketika Ebiet menyanyikan lagu Untuk Kita Renungkan. Sontak seluruh penonton bernyanyi bersama. Bahkan para mahasiswa yang berada di lantai dua menyalakan telepon genggam dan melambai-lambaikannya seperti gerakan cahaya. "Biasanya, orang yang menyanyikan lagu ini menggunakan lilin sebagai tanda renungan, tapi kali ini sesuai perkembangan zaman, cahaya handphone bisa dijadikan sebagai pengganti lilin," kata Ebiet.

Tembang demi tembang dilantunkan pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, itu. Mulai dari Berjalan di Hutan Cemara, Nyanyian Rindu, Masih Ada Waktu, Untuk Sebuah Nama, Camelia I, II dan IV, dan Berita Pada Kawan. Yang menarik saat Ebiet berduet dengan rektor IPB dan menyanyikan lagu Titip Rindu untuk Ayah. Benar-benar menjadi penampilan yang spesial bagi para penonton.

Abietyasakti menyebutkan, saat ini pelantun Camelia ini tengah sibuk dengan Tour Off Air-nya ke sejumlah kota dan radio. Ia mengatakan, Ebiet tidak ada rencana untuk mengeluarkan album baru lagi. "Untuk saat ini, bapak sudah tidak memikirkan album lagi karena tidak akan mungkin lagi diterima di pasaran," kata Abietyasakti.

Di mata Abietyasakti, sosok Ebiet adalah bapak yang demokratis. Segala urusan dan permasalahan diselesaikan lewat diskusi bersama tiga putra dan satu putrinya.

Pria yang lahir 56 tahun silam sebenarnya tidak ingin disebut penyanyi. Karena karya yang dihasilkannya adalah sebuah puisi. "Latar belakang bapak bukanlah penyanyi. Dia awalnya adalah seniman pembaca puisi bersama-sama Emha Ainun Najib. Bapak lebih banyak menciptakan puisi ketimbang lirik lagu. Sebenarnya lagu yang dinyanyikannya adalah bait-bait puisi yang dikarangnya sendiri," kata Abietyasakti, seperti dikutip Antara.

Abietyasakti mengatakan, bapaknya memiliki keterbatasan membacakan puisi karena suaranya yang tidak keras dan lantang. Untuk menutupi kekurangannya tersebut, ia menemukan jati dirinya, kelebihanya yakni memainkan gitar dan membacakan puisinya dengan cara bernyanyi. Kemahirannya menutupi keterbatasanya ternyata menciptakan sosok Ebiet sebagai penyanyi puisi atau puisi bernyanyi.

Dikatakan Abietyasakti, hingga saat ini Ebiet telah meluncurkan 20 album solo dan puluhan lagu kompilasi. Hampir seluruh lagunya menjadi hits hingga zaman sekarang. Seperti halnya lagu Untuk Kita Renungkan, ditulis Ebiet pada 1979 mengenang bencana alam yang terjadi pada masa itu.

Ebiet mengatakan, lagu-lagu yang diciptakannya merupakan renungan dari kejadian yang ada di sekitarnya. Ia mengungkapkan setiap rasanya dalam bait-bait puisi yang akan ditambahkan musik saat ia akan membacanya.

Untuk melahirkan sebuah karya, pria yang menyukai ayam kampung ini tidak memerlukan suasana atau tempat khusus. Bila ia ingin menulis, ia tinggal mencari tempat yang sunyi dan di sana ia akan menulis bait-bait puisinya.

Abietyasakti mengatakan, saat ini ayahnya lebih konsen dengan undangan manggung dari televisi dan radio. "Bapak memiliki kepedulian terhadap peristiwa bencana, saat Gunung Merapi meletus di Yogyakarta, bapak juga sudah datang ke sana. Saat ingin datang yang ke dua kali, sekitar tiga hari yang lalu dibatalkan karena penerbangannya tidak diperbolehkan berangkat akibat pengaruh abu vulkanik," kata Abietyasakti.

Satu hal lagi yang menarik dari Ebiet adalah ia tampil secara spontan di depan penonton. Ia tidak pernah merencanakan lagu apa yang akan dinyanyikan dan berapa banyak dia akan bernyanyi? "Itulah bapak, jika tampil spontan tidak direncanakan sesuka dia aja, tadi awalnya dia akan menyanyikan tujuh lagu, ternyata dia nyanyi 12 lagu," kata Abietyasakti.(ULF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar